Indonesia History
Think Tanks
INDONESIA
Indonesia (pengucapan bahasa Indonesia: [in.ˈdo.nÉ›.sja]), dikenal dengan nama resmi Republik Indonesia atau lebih lengkapnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah negara kepulauan di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara daratan benua Asia dan Oseania, sehingga dikenal sebagai negara lintas benua, serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.Indonesia merupakan negara terluas ke-14 sekaligus negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah sebesar 1.904.569 km²,[6] serta negara dengan pulau terbanyak ke-6 di dunia, dengan jumlah 17.504 pulau.[13] Nama alternatif yang dipakai untuk kepulauan Indonesia disebut Nusantara.[14] Selain itu, Indonesia juga menjadi negara berpenduduk terbanyak ke-4 di dunia dengan penduduk mencapai 270.203.917 jiwa pada tahun 2020,[15] serta negara beragama Islam terbanyak di dunia, dengan penganut lebih dari 230 juta jiwa.[16][17] Indonesia adalah negara multiras, multietnis, dan multikultural di dunia, seperti halnya Amerika Serikat.[18]
Indonesia berbatasan dengan sejumlah negara di Asia Tenggara dan Oseania. Indonesia berbatasan di wilayah darat dengan Malaysia di Pulau Kalimantan dan Sebatik, dengan Papua Nugini di Pulau Papua, dan dengan Timor Leste di Timor. Negara yang hanya berbatasan laut dengan Indonesia adalah Singapura, Filipina, Australia, dan wilayah persatuan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India.
Indonesia adalah negara kesatuan dengan bentuk pemerintahan republik berdasarkan konstitusi yang sah, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).[19] Berdasarkan UUD 1945 pula, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Presiden dicalonkan lalu dipilih dalam pemilihan umum.
Ibu kota Indonesia saat ini adalah Jakarta. Pada tanggal 18 Januari 2022, pemerintah Indonesia menetapkan Ibu Kota Nusantara yang berada di Pulau Kalimantan, yang menempati wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara, untuk menggantikan Jakarta sebagai ibu kota yang baru.[20] Hingga tahun 2022, proses peralihan ibu kota masih berlangsung.
Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa-bangsa pendatang dan penjajah. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting sejak abad ke-7, yaitu sejak berdirinya Sriwijaya, kerajaan bercorak Hinduisme-Buddhisme yang berpusat di Palembang. Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan bangsa Tionghoa, India, dan juga Arab. Agama dan kebudayaan Hinduisme-Buddhisme tumbuh, berkembang, dan berasimilasi di kepulauan Indonesia pada awal abad ke-4 hingga abad ke-13 Masehi. Setelah itu, para pedagang dan ulama dari Jazirah Arab yang membawa agama dan kebudayaan Islam sekitar abad ke-8 hingga abad ke-16. Pada akhir abad ke-15, bangsa-bangsa Eropa datang ke kepulauan Indonesia dan berperang untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku semasa Zaman Penjelajahan. Setelah berada di bawah penjajahan Belanda, Indonesia yang saat itu bernama Hindia Belanda, memproklamirkan kemerdekaan di akhir Perang Dunia II, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Selanjutnya, Indonesia mendapat berbagai tantangan dan persoalan berat, mulai dari bencana alam, praktik korupsi yang masif, konflik sosial, gerakan separatisme, proses demokratisasi, dan periode pembangunan, perubahan dan perkembangan sosial–ekonomi–politik, serta modernisasi yang pesat.
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama. Berdasarkan rumpun bangsa, Indonesia terdiri atas bangsa asli pribumi yakni Austronesia dan Melanesia di mana bangsa Austronesia yang terbesar jumlahnya dan lebih banyak mendiami Indonesia bagian barat. Dengan suku Jawa dan Sunda membentuk kelompok suku bangsa terbesar dengan persentase mencapai 57% dari seluruh penduduk Indonesia.[21] Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika" (Berbeda-beda tetapi tetap satu), bermakna keberagaman sosial-budaya yang membentuk satu kesatuan negara. Selain memiliki penduduk yang padat dan wilayah yang luas, Indonesia memiliki alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar ke-2 di dunia.
Indonesia merupakan anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan satu-satunya anggota yang pernah keluar dari PBB, yaitu pada tanggal 7 Januari 1965, dan bergabung kembali pada tanggal 28 September 1966. Indonesia tetap dinyatakan sebagai anggota yang ke-60, keanggotaan yang sama sejak bergabungnya Indonesia pada tanggal 28 September 1950. Selain PBB, Indonesia juga merupakan anggota dari organisasi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Gerakan Nonblok (GNB), Konferensi Asia–Afrika (KAA), Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan G20.(Wikipedia ensiklopedia)
JAKARTA
Wikipedia. Tahun
1635, kota ini meluas hingga tepi barat Sungai Ciliwung, di reruntuhan
bekas Jayakarta. Kota ini dirancang dengan gaya Belanda Eropa lengkap
dengan benteng (Kasteel Batavia), dinding kota, dan kanal. Kota ini
diatur dalam beberapa blok yang dipisahkan oleh kanal.[1] Kota Batavia
selesai dibangun tahun 1650. Batavia kemudian menjadi kantor pusat VOC
di Hindia Timur. Kanal-kanal diisi karena munculnya wabah tropis di
dalam dinding kota karena sanitasi buruk. Kota ini mulai meluas ke
selatan setelah epidemi tahun 1835 dan 1870 mendorong banyak orang
keluar dari kota sempit itu menuju wilayah Weltevreden (sekarang daerah
di sekitar Lapangan Merdeka). Batavia kemudian menjadi pusat
administratif Hindia Timur Belanda. Tahun 1942, selama pendudukan
Jepang, Batavia berganti nama menjadi Jakarta dan masih berperan sebagai
ibu kota Indonesia sampai sekarang.
Tahun
1972, Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, mengeluarkan dekret yang resmi
menjadikan Kota Tua sebagai situs warisan. Keputusan gubernur ini
ditujukan untuk melindungi sejarah arsitektur kota — atau setidaknya
bangunan yang masih tersisa di sana.
Meski
dekret Gubernur dikeluarkan, Kota Tua tetap terabaikan. Banyak warga
yang menyambut hangat dekret ini, tetapi tidak banyak yang dilakukan
untuk melindungi warisan era kolonial Belanda.
Dalam
pengembangan daerah Jakarta, beberapa bangunan atau tempat yang berada
di daerah kota Tua Jakarta dihancurkan dengan alasan tertentu. Beberapa
tempat tersebut adalah:
Benteng Batavia
dihancurkan antara 1890–1910, beberapa material digunakan untuk
pembangunan Istana Daendels (sekarang Departemen Keuangan Nasional)
Gerbang
Amsterdam (lokasinya berada dipertigaan Jalan Cengkih, Jalan Tongkol
dan Jalan Nelayan Timur. Dihancurkan untuk memperlebar akses jalan)
dihancurkan pada tahun 1950an untuk pelebaran jalan.
Jalur
Trem Batavia (Jalur ini pernah ada di kota Batavia, tetapi sekarang
sudah ditimbun dengan aspal. Karena Presiden Soekarno menganggap Trem
Batavia yang membuat macet)
Sebagai permukiman
penting, pusat kota, dan pusat perdagangan di Asia sejak abad ke-16, Oud
Batavia merupakan rumah bagi beberapa situs dan bangunan bersejarah di
Jakarta:
Gedung Arsip Nasional
Gedung Chandranaya
Vihara Jin De Yuan (Vihara Dharma Bhakti)
Petak Sembilan
Pecinan Glodok dan Pinangsia
Gereja Sion
Tugu Jam Kota Tua Jakarta
Stasiun Jakarta Kota
Museum Bank Mandiri
Museum Bank Indonesia
Standard-Chartered Bank
Kota's Pub
VG Pub Kota
Toko Merah
Cafe Batavia
Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah (bekas Balai Kota Batavia)
Museum Seni Rupa dan Keramik (bekas Pengadilan Batavia)
Lapangan Fatahillah
Replika Sumur Batavia
Museum Wayang
Kali Besar (Grootegracht)
Hotel Former
Nieuws van de Dag
Gedung Dasaad Musin
Jembatan Kota Intan
Galangan VOC
Menara Syahbandar
Museum Bahari
Pasar Ikan
Pelabuhan Sunda Kelapa
Masjid Luar Batang
Saat
ini, banyak bangunan dan arsitektur bersejarah yang memburuk
kondisinya[3] seperti: Museum Sejarah Jakarta (bekas Balai Kota Batavia,
kantor dan kediaman Gubernur Jenderal VOC), Museum Bahari, Pelabuhan
Sunda Kelapa, dan Museum Bank Indonesia.
Tetapi,
masih ada usaha perbaikan Kota Tua, khususnya dari berbagai organisasi
nirlaba, institusi swasta, dan pemerintah kota[4] yang telah bekerja
sama untuk mengembalikan warisan Kota Tua Jakarta. Tahun 2007, beberapa
jalan di sekitar Lapangan Fatahillah seperti Jalan Pintu Besar dan Jalan
Pos Kota, ditutup sebagai tahap pertama perbaikan.
Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Data Publikasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Republik Indonesia
Peluncuran DMO Kota Tua Jakarta
22 Juli 2011 oleh Kemenparekraf
Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) bersama Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta meluncurkan (Kick Off) program Destination Management
Organization (DMO) kawasan Kota Tua Jakarta. Acara peluncuran yang
dilakukan Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata (Dirjen PDP)
Kemenbudpar Firmansyah Rahim dan Deputi Gubernur Bidang Budaya dan
Pariwisata Pemprov DKI Jakarta Sukesti Martono berlangsung di Museum
Bank Mandiri, Kawasan Kota Tua Jakarta, Jumat (22/7).
Dalam
acara peluncuran itu juga dilakukan deklarasi komitmen para stakeholder
kawasan Kota Tua Jakarta yang terdiri dari unsur Pemerintah, BUMN, BUMS,
Komunitas /Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), masyarakat lokal,
pemerhati kawasan kota tua, dan wisatawan.
Acara peluncuran
DMO disemarakkan dengan pegelaran seni budaya yang menampilkan antara
lain tarian Padupa dari Komunitas Masyarakat Bahari (zona 1 Kawasan
Sunda Kelapa), drumband TK Nurul Iman, Mandiri Heritage Marching Band,
Marawis Kampung Bandan, dan kesenian lainnya.
Dirjen PDP
Kemenbudpar Firmansyah Rahim menyambut gembira antusiasme para
stakeholder dalam memajukan pariwisata kawasan Kota Tua Jakarta .
"Program kegiatan DMO Kota Tua pada tahap awal membentuk kesamaan
persepsi dan komitmen para stakeholder dalam mengelola kawasan Kota Tua
Jakarta sebagai destinasi pariwisata untuk meningkatkan daya saing
pariwisata secara berkelanjutan," kata Firmansyah Rahim.
Kawasan
Kota Tua Jakarta merupakan satu di antara 15 destinasi pariwisata di
seluruh tanah air yang terpilih sebagai destinasi yang akan dikembangkan
melalui program DMO untuk lima tahun ke depan. Kemenbudpar
memfasilitasi para stakeholder untuk mengawali proses assesment dan
kajian-kajian, kemudian dilanjutkan dengan menyatukan kepentingan dalam
perencanaan pengembangan Kota Tua Jakarta hingga nantinya menjadi
destinasi yang mandiri dan berdaya saing global.
Kemenbudpar
telah menetapkan program DMO di 15 destinasi pariwisata di seluruh tanah
air yakni; Pangandaran (Jawa Barat), Danau Toba (Sumatera Utara),
Komodo-Kelimutu-Flores (NTT), Java Promo-Borobudur (Jawa Tengah),
Bunaken (Sulawesi Utara), Regional Bali-Danau Batur (Bali), Rinjani
(NTB), Kota Tua Jakarta (DKI Jakarta), Toraja (Sulawesi Selatan),
Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), Raja Ampat (Papua Barat), Wakatobi
(Sulawesi Tenggara), Tanjung Puting (Kalimantan Tengah), Derawan
(Kalimantan Timur), dan Sabang (Aceh). (Pusformas)
Hotel Borobudur
From Wikipedia, the free encyclopedia
Hotel
Borobudur is a five star hotel and serviced apartment located in
Central Jakarta, Indonesia. Conceived in the 1960s by President Sukarno,
it was meant to be the second international-standard hotel to be built
in the newly independent country (the first was Hotel Indonesia). The
hotel is located near Lapangan Banteng, which during the colonial times
was the center of what was the military-European colonial neighborhood
of Weltevreden. At its opening in 1974, as the Hotel Borobudur
Inter-Continental, it was the largest hotel in Jakarta.
Description
The
hotel is named after Borobudur temple, the famous 9th-century Buddhist
monument located in Central Java. The five star Hotel Borobudur stands
on a 7 hectares (17 acres) land, surrounded by a tropical garden of 2.3
hectares (5.7 acres). The interior design, artworks, decorations and
garden statues of this hotel represents the style typical to the 9th
century Sailendran art of Central Java. Which includes the replicas of
Borobudur's balustrades, stupas, Buddha statues and bas-reliefs. The
hotel features 868 rooms.The hotel features facilities such as a
conference center, seven dining outlets, and a swimming pool. Hotel
Borobudur has received several awards e.g. the Global Luxury Green Hotel
Awards 2014, Leading City Hotel Awards 2014–2015, and Leading Business
Hotel Awards 2014–2015.
History
The
hotel was constructed over a land which was formerly used for military
housing by the colonial government of the Dutch East Indies.[1] This
military housing complex was located at the military heart of Batavia,
the Weltevreden. Following the independence of Indonesia, Sukarno
started several monumental projects, partly as a political statement of
the ability of the newly independent nation to compete in the
international. Some of Sukarno's early national projects which were
built before Hotel Borobudur are Hotel Indonesia and the
Sudirman-Thamrin Road.
In the 1960s, Sukarno
conceived the idea to construct the second international-standard hotel
in Indonesia. Sukarno ordered the acquisition of much of the northern
part of the former military housing complex in Weltevreden to construct
the new hotel. The south end of this military housing complex was not
acquired by Sukarno and today the original messes still exist and are
used as the military housing complex for the Indonesian Marine Corps).
The new hotel was originally expected to be called Hotel Lapangan
Banteng because of its close proximity with the Lapangan Banteng,
located just to the south of the square. Other suggested name for the
hotel was Hotel Jakarta Raya.
Groundbreaking of
the hotel's construction took place in 1963 with Governor Soemarno
attended the ceremony. The original design features 220 suite rooms
housed in a six-floor building. The hotel was designed to accommodate
guest of honors of the Istana Negara, the presidential palace of
Indonesia. During the events of 30 September 1965, construction of the
hotel was disrupted for several years. The hotel construction would only
be completed in 1974. On March 23, 1974, President Suharto officially
opened the Hotel Borobudur Inter-Continental, the ""largest hotel in
Jakarta"". At this time the hotel design was expanded to 12 floors,
housing 695 rooms, and contains apartments. The hotel was the official
hotel for the Pacific Asia Travel Association.(PATA)
JAWA BARAT
Sekilas Sejarah Kota Tasikmalaya
portal.tasikmalayakota.go.id.
Sejarah berdirinya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonomi tidak
terlepas dari sejarah berdirinya kabupaten Tasikmalaya sebagai daerah
kabupaten induknya. Sebelumnya, kota ini merupakan ibukota dari
kabupaten Tasikmalaya, kemudian meningkat statusnya menjadi kota
administratif tahun 1976, pada waktu A. Bunyamin menjabat sebagai Bupati
Tasikmalaya, dan kemudian menjadi pemerintahan kota yang mandiri pada
masa Pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya dipimpin oleh bupatinya saat itu
H. Suljana W.H.
Sang
Mutiara dari Priangan Timur itulah julukan bagi kota Tasikmalaya. Kota
Tasikmalaya adalah salah satu kota di Provinsi Jawa Barat. Kota ini
terletak pada 108° 08? 38? – 108° 24? 02? BT dan 7° 10? – 7° 26? 32? LS
di bagian Tenggara wilayah Propinsi Jawa Barat. Kota ini dahulu adalah
sebuah kabupaten, namun seiring dengan perkembangan, maka terbentuklah 2
buah bentuk pemerintahan yaitu Pemerintahan Kabupaten dan Pemerintahan
Kota Tasikmalaya.
Tonggak
sejarah lahirnya kota Tasikmalaya, mulai di gulirkan ketika Kabupaten
Tasikmalaya di pimpin oleh A. Bunyamin, Bupati Tasikmalaya periode tahun
1976 – 1981. Pada saat itu melalui peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun
1976 diresmikanlah Kota Administratif Tasikmalaya oleh Menteri Dalam
Negeri yang pada waktu itu dijabat oleh H. Amir Machmud. Walikota
Administratif pertama adalah Drs. H. Oman Roosman, yang dilantik oleh
Gubernur Jawa barat, H. Aang Kunaefi.
Pada
awal pembentukannya, wilayah kota Administratif Tasikmalaya meliputi 3
Kecamatan yaitu Cipedes, Cihideung dan Tawang dengan jumlah desa
sebanyak 13 desa. Kemudian pada tahun 2001, dirintislah pembentukan
Pemerintah Kota Tasikmalaya oleh Bupati Tasikmalaya, Kol. Inf. H.
SuIjana Wirata Hadisubrata (1996 – 2001), dengan membentuk sebuah Tim
Sukses Pembentukan Pemerintah Kota Tasikmalaya yang diketuai oleh H.
Yeng Ds. Partawinata SH. Melalui proses panjang akhirnya dibawah
pimpinan Bupati Drs. Tatang Farhanul Hakim, pada tanggal 17 Oktober 2001
melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001, Pembentukan pemerintahan
Kota Tasikmalaya sebagai pemerintahan daerah otonom ditetapkan oleh
Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden RI di Jakarta bersama-sama
dengan kota Lhoksumawe, Langsa, Padangsidempuan, Prabumulih, Lubuk
Linggau, Pager Alam, Tanjung Pinang, Cimahi, Batu, Sikawang dan Bau-bau.
Selanjutnya pada tanggal 18 Oktober 2001 pelantikan Drs. H. Wahyu
Suradiharja sebagai Pejabat Walikota Tasikmalaya oleh Gubernur Jawa
Barat dilaksanakan di Gedung Sate Bandung.
BALI
Data Wikipedia.Bali
was inhabited around 2000 BCE by Austronesian people who migrated
originally from the island of Taiwan to Southeast Asia and Oceania
through Maritime Southeast Asia. Culturally and linguistically, the
Balinese are closely related to the people of the Indonesian
archipelago, Malaysia, the Philippines and Oceania. Stone tools dating
from this time have been found near the village of Cekik in the island's
west.
In ancient Bali, nine Hindu sects
existed, namely Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Vaishnava, Bodha,
Brahma, Resi, Sora and Ganapatya. Each sect revered a specific deity as
its personal Godhead.
Inscriptions from 896 and
911 do not mention a king, until 914, when Sri Kesarivarma is
mentioned. They also reveal an independent Bali, with a distinct
dialect, where Buddhism and Shaivism were practised simultaneously. Mpu
Sindok's great-granddaughter, Mahendradatta (Gunapriyadharmapatni),
married the Bali king Udayana Warmadewa (Dharmodayanavarmadeva) around
989, giving birth to Airlangga around 1001. This marriage also brought
more Hinduism and Javanese culture to Bali. Princess Sakalendukirana
appeared in 1098. Suradhipa reigned from 1115 to 1119, and Jayasakti
from 1146 until 1150. Jayapangus appears on inscriptions between 1178
and 1181, while Adikuntiketana and his son Paramesvara in
1204.: 129, 144, 168, 180
Balinese culture was
strongly influenced by Indian, Chinese, and particularly Hindu culture,
beginning around the 1st century AD. The name Bali dwipa (""Bali
island"") has been discovered from various inscriptions, including the
Blanjong pillar inscription written by Sri Kesari Warmadewa in 914 AD
and mentioning Walidwipa. It was during this time that the people
developed their complex irrigation system subak to grow rice in
wet-field cultivation. Some religious and cultural traditions still
practised today can be traced to this period.
The
Hindu Majapahit Empire (1293–1520 AD) on eastern Java founded a
Balinese colony in 1343. The uncle of Hayam Wuruk is mentioned in the
charters of 1384–86. Mass Javanese immigration to Bali occurred in the
next century when the Majapahit Empire fell in 1520.: 234, 240 Bali's
government then became an independent collection of Hindu kingdoms which
led to a Balinese national identity and major enhancements in culture,
arts, and economy. The nation with various kingdoms became independent
for up to 386 years until 1906 when the Dutch subjugated and repulsed
the natives for economic control and took it over.
Portuguese contacts
The
first known European contact with Bali is thought to have been made in
1512, when a Portuguese expedition led by Antonio Abreu and Francisco
Serrão sighted its northern shores. It was the first expedition of a
series of bi-annual fleets to the Moluccas, that throughout the 16th
century usually travelled along the coasts of the Sunda Islands. Bali
was also mapped in 1512, in the chart of Francisco Rodrigues, aboard the
expedition. In 1585, a ship foundered off the Bukit Peninsula and left a
few Portuguese in the service of Dewa Agung.
Dutch East Indies
Puputan monument
In
1597, the Dutch explorer Cornelis de Houtman arrived at Bali, and the
Dutch East India Company was established in 1602. The Dutch government
expanded its control across the Indonesian archipelago during the second
half of the 19th century. Dutch political and economic control over
Bali began in the 1840s on the island's north coast when the Dutch
pitted various competing for Balinese realms against each other. In the
late 1890s, struggles between Balinese kingdoms on the island's south
were exploited by the Dutch to increase their control.
In
June 1860, the famous Welsh naturalist, Alfred Russel Wallace,
travelled to Bali from Singapore, landing at Buleleng on the north coast
of the island. Wallace's trip to Bali was instrumental in helping him
devise his Wallace Line theory. The Wallace Line is a faunal boundary
that runs through the strait between Bali and Lombok. It is a boundary
between species. In his travel memoir The Malay Archipelago, Wallace
wrote of his experience in Bali, of which has a strong mention of the
unique Balinese irrigation methods:
I was both
astonished and delighted; for as my visit to Java was some years later, I
had never beheld so beautiful and well-cultivated a district out of
Europe. A slightly undulating plain extends from the seacoast about ten
or twelve miles (16 or 19 kilometres) inland, where it is bounded by a
fine range of wooded and cultivated hills. Houses and villages, marked
out by dense clumps of coconut palms, tamarind and other fruit trees,
are dotted about in every direction; while between them extend luxurious
rice-grounds, watered by an elaborate system of irrigation that would
be the pride of the best cultivated parts of Europe.
The
Dutch mounted large naval and ground assaults at the Sanur region in
1906 and were met by the thousands of members of the royal family and
their followers who rather than yield to the superior Dutch force
committed ritual suicide (puputan) to avoid the humiliation of
surrender. Despite Dutch demands for surrender, an estimated 200
Balinese killed themselves rather than surrender. In the Dutch
intervention in Bali, a similar mass suicide occurred in the face of a
Dutch assault in Klungkung. Afterwards, the Dutch governours exercised
administrative control over the island, but local control over religion
and culture generally remained intact. Dutch rule over Bali came later
and was never as well established as in other parts of Indonesia such as
Java and Maluku.
In the 1930s, anthropologists
Margaret Mead and Gregory Bateson, artists Miguel Covarrubias and
Walter Spies, and musicologist Colin McPhee all spent time here. Their
accounts of the island and its peoples created a western image of Bali
as ""an enchanted land of aesthetes at peace with themselves and
nature"". Western tourists began to visit the island. The sensuous image
of Bali was enhanced in the West by a quasi-pornographic 1932
documentary Virgins of Bali about a day in the lives of two teenage
Balinese girls whom the film's narrator Deane Dickason notes in the
first scene ""bathe their shamelessly nude bronze bodies"". Under the
looser version of the Hays code that existed up to 1934, nudity
involving ""civilised"" (i.e. white) women was banned, but permitted
with ""uncivilised"" (i.e. all non-white women), a loophole that was
exploited by the producers of Virgins of Bali. The film, which mostly
consisted of scenes of topless Balinese women was a great success in
1932, and almost single-handedly made Bali into a popular spot for
tourists.
Imperial Japan occupied Bali during
World War II. It was not originally a target in their Netherlands East
Indies Campaign, but as the airfields on Borneo were inoperative due to
heavy rains, the Imperial Japanese Army decided to occupy Bali, which
did not suffer from comparable weather. The island had no regular Royal
Netherlands East Indies Army (KNIL) troops. There was only a Native
Auxiliary Corps Prajoda (Korps Prajoda) consisting of about 600 native
soldiers and several Dutch KNIL officers under the command of KNIL
Lieutenant Colonel W.P. Roodenburg. On 19 February 1942, the Japanese
forces landed near the town of Sanoer (Sanur). The island was quickly
captured.
During the Japanese occupation, a
Balinese military officer, I Gusti Ngurah Rai, formed a Balinese
'freedom army'. The harshness of Japanese occupation forces made them
more resented than the Dutch colonial rulers.
Independence from the Dutch
In
1945, Bali was liberated by the British 5th infantry Division under the
command of Major-General Robert Mansergh who took the Japanese
surrender. Once the Japanese forces had been repatriated the island was
handed over to the Dutch the following year.
In
1946, the Dutch constituted Bali as one of the 13 administrative
districts of the newly proclaimed State of East Indonesia, a rival state
to the Republic of Indonesia, which was proclaimed and headed by
Sukarno and Hatta. Bali was included in the ""Republic of the United
States of Indonesia"" when the Netherlands recognised Indonesian
independence on 29 December 1949. The first governor of Bali, Anak Agung
Bagus Suteja, was appointed by President Sukarno in 1958, when Bali
became a province.
Contemporary
2002 Bali bombings memorial
The
1963 eruption of Mount Agung killed thousands, created economic havoc
and forced many displaced Balinese to be transmigrated to other parts of
Indonesia. Mirroring the widening of social divisions across Indonesia
in the 1950s and early 1960s, Bali saw conflict between supporters of
the traditional caste system, and those rejecting this system.
Politically, the opposition was represented by supporters of the
Indonesian Communist Party (PKI) and the Indonesian Nationalist Party
(PNI), with tensions and ill-feeling further increased by the PKI's land
reform programmes. An attempted coup in Jakarta was put down by forces
led by General Suharto.
The army became the
dominant power as it instigated a violent anti-communist purge, in which
the army blamed the PKI for the coup. Most estimates suggest that at
least 500,000 people were killed across Indonesia, with an estimated
80,000 killed in Bali, equivalent to 5% of the island's population. With
no Islamic forces involved as in Java and Sumatra, upper-caste PNI
landlords led the extermination of PKI members.
As
a result of the 1965–66 upheavals, Suharto was able to manoeuvre
Sukarno out of the presidency. His ""New Order"" government
re-established relations with Western countries. The pre-War Bali as
""paradise"" was revived in a modern form. The resulting large growth in
tourism has led to a dramatic increase in Balinese standards of living
and significant foreign exchange earned for the country.
A
bombing in 2002 by militant Islamists in the tourist area of Kuta
killed 202 people, mostly foreigners. This attack, and another in 2005,
severely reduced tourism, producing much economic hardship to the
island.
On 27 November 2017, Mount Agung
erupted five times, causing evacuation of thousands, disruption of air
travel and environmental damage. Further eruptions also occurred between
2018 and 2019.
The official Publications The Government of Indonesia, Bali
DENPASAR / EVENT BUDAYA
Bali Arts Festival (PKB) 2021
24 Maret 2021 - by Seksi Promosi
Bali
Arts Festival (PKB) 2021 is taken place on June,12nd until July,10th
2021 and located at the cultural park of Bali Province. It is the
longest and largest cultural arts festival in Indonesia, even in the
world. Bali Art Festival will be implemented in the form of Offline and
Online Hybrids, as an effort to protect the classical arts and the
Sebunan tradition (locality-based) in each Regency / City. The materials
of Bali Art Festival include Peed Aya (Parade), Rekasada (Pergelaran),
Utsawa (Parade), Wimbakara (Competition), Kandarupa (Exhibition),
Widyatula (Sarasehan), Kriyaloka (Workshop) and Art Awards.
DENPASAR / EVENT BUDAYA
NGEREBONG CEREMONY
5 Mei 2020 - by admin
The tradition of Ngurek
The
tradition in Bali is practiced by Hindus precisely at Pangrebongan
Temple, Kesiman Village, Denpasar. The most of people who follow this
ritual start to be possessed / trance, there are those who shout, cry,
growl and dance accompanied by traditional music of Beleganjur.
Location : Kesiman Village, East Denpasar, Denpasar City
DENPASAR / EVENT BUDAYA
OMED-OMEDAN
4 Mei 2020 - by admin
DENPASAR / EVENT BUDAYA
OMED-OMEDAN
4 Mei 2020 - by admin
OMED – OMEDAN
The
day after Nyepi, the residents of Sesetan will flood the main road of
their village in Denpasar to celebrate the caka new year with a unique
ritual called Omed-omedan , also known as the kissing ritual
The
single Sesetan boys are probably the happiest on this day, for they get
to kiss the single ladies of their village without any consequences.
Known as the kissing ritual, Omed-omedan is when the bachelors and
bachelorettes aged 17-30 of Sesetan gather on the area’s main street.
Divided into two groups (men and women), they will take position and
face each other; at a given signal, both sides will approach to the
centre of the street, and male participants will pull and kiss
(sometimes forcefully) the female participants while the rest of the
villagers in the audience pour buckets of water over them.
Meaning
“to pull” in Balinese, Omed-omedan has been passed down from generation
to generation in the hamlet as an activity intended to strengthen the
social cohesion among the young generation of Sesetan. The ritual was
once dismissed in the 80s, and what happened after didn’t please the
villagers; some kind of plague struck the area, causing pigs to fight
each other with the Sesetan residents struggling to separate them. Due
to this strange occurrance, the festival was resumed, for it is believed
that this annual ritual prevents disaster from descending upon the
village.
The ritual will begin with everyone
involved praying in the village’s Banjar temple. Once the praying is
done, there will be a brief Barong performance that takes place on the
road. By this time, hundreds of people from the neighbouring areas and
visitors in the know will have already flocked to the road.
The
Omed-omedan normally takes place at around 2pm. Visitors wishing to
observe the festivity are advised to arrive early to secure good
positions to snap photos. You might want to protect your camera with a
waterproof housing as there will be water sprays everywhere right in the
centre of the crowd. There will also be a street bazaar with vendors
selling traditional food, clothes, and more. Live music and comedy shows
delivered in Balinese and/or Bahasa Indonesian will be performed on a
stage before the ritual begins.
Location : Sesetan Village, South Denpasar, Denpasar City
Barong Brutuk
disparda.baliprov.go.id.
Barong Brutuk is a traditional art of heritage which still preserve
until now in the village of Trunyan, Kintamani. As the culture and
tradition which is possessed by the inhabitant of Trunyan village, this
place becomes the unique tourist destination. In addition, the Trunyan
village has an ancient art known as Barong Brutuk even the ancient art
is predicated has existed previous coming in effect of Hindu to Bali.
It
is not all of people recognize the ancient art of Barong Brutuk which
is inherited from generation to generation by ancestor of local people.
Barong Brutuk is very ancient dance of barong and only exist in the
village of Trunyan from hundreds years ago inhabited by the original of
Balinese people. This dance describes the life of ancestors in the old
time.
In
fact, the island of Bali is not only offering the beautiful nature of
tourist objects, however, its culture and tradition in some places can
be the main attraction. Bali is actually rich due to the culture and
tradition, therefore, it becomes the central attraction for foreigners
who spending time to the island of Gods of Bali.
Location : Trunyan Village, District of Kintamani, Bangli Regency
KALIMANTAN
KISAH DAERAH
Gerbang Toll Dimensi Waktu
Peta
Zaman Belanda bertajuk “Kaart van de Kust-en Binnenlanden van
Banjermassing behoorende tot de Reize in het zuidelijke gedeelte van
Borneo” oleh naturalis asal Jerman, Salomon Muller pada tahun 1845.
Muller adalah anggota des Genootschaps en Natuurkundige Komissie in
Nederlands Indie atau Dinas Kehutanan Hindia Belanda. Menulis sebuah
kawasan yang bernama Tandjong Sarandjana, secara administratif pada masa
sekarang d kawasan tersebut berada di wilayah Kabupaten Kotabaru,
Kalimantan Selatan, Indonesia.
Kepercayaan masyarakat
Kepercayaan
masyarakat lokal, kawasan atau kota gaib itu hanya bisa didatangi oleh
orang-orang pintar yang paham dengan ilmu hikmah atau gaib. Karena
mencarinya di peta modern Indonesia maka kota tersebut tidak ada. Meski
banyak tulisan yang menceritakan kota tersebut walau tidak tercantum
dalam peta modern. Kota tersebut dinamakan Kota Saranjaya diyakini
terletak di bagian selatan pulau tepatnya di Desa Oka-Oka, Kecamatan
Pulau Laut, Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Sejarah Kotabaru
Pada
masa sebelum masuknya agama Islam, suku Dayak yang mendiami Kotabaru
masih menganut kepercayaan animisme, mereka hidup berkelompok.
Diperkirakan keberadaan Kota Saranjana di wilayah dari suku Dayak
Samihim, sebelum 1660. Berdasarkan catatan sejarawan Goh Yoon Fong yang
menyatakan Pulau Laut menjadi hadiah atau tanah apanage. Hadiah ini
diberikan oleh Kesultanan Banjar kepada Pangeran Purabaya sebagai
penghormatan dan imbalan perdamaian. Sebelumnya, bangsawan Banjar telah
mengangkat Raden Bagus menjadi Sultan Banjar yang memerintah dari 1660
hingga 1663.
Secara terminologi, jika dengan kosa kata India yaitu saranjana berarti tanah yang diberikan.
Catatan Budaya
Sumber lisan lewat nyanyian Orang Maanyan bahwa kerajaan mereka yaitu Nan Sarunai
Orang
Maanyan terusir dan mengungsi ke sejumlah tempat di Kalimantan,
termasuk orang Dayak Samihim yang tinggal di beberapa tempat di
antaranya Pulau Laut atau wilayah yan diperkirakan lokasi kota
Saranjaya.
Secara historis, ada lagu masyarakat Dayak Maanyan
diyakini memiliki keterkaitan dengan suatu peristiwa yang dialami
oleh suku Dayak Maanyan pada zaman dulu. Lagu tinga janyawai
bersentuhan dengan cerita rakyat, yaitu perpisahan orang
Nansarunai di tepian sungai Tabalong. Lagu Laisomena merupakan lagu
yang berisikan nyanyian menceritakan kesedihan karena ditinggal
oleh cucunya yang bernama Laisomena. Mungkin telah menjadi
janjinya untuk pergi merantau sehingga neneknya tidak mengetahui
kemana arah dan tujuan.
Bait ketujuh lagu Tinga
janyawai dengan Pendekatan Hermeneutika berisi ungkapan berkenaan
dengan peran serta dari seluruh masyarakat dalam memperbaiki
kualitas kehidupannya. Namun semuanya diserahkan kepada individu
masing-masing, meskipun kalau masih ada yang berkekurangan bukanlah
kehendak hatinya. Karena kita sudah berusaha.
Catatan budaya
ini memberikan hipotesa. Umumnya masyarakat dahulu menamakan sesuatu,
keturunan (anak) atau wilayah akan didasari oleh sejarah dan akan
memiliki kemiripan penamaan. Jika naturalis Jerman mencatumkan wilayah
Tandjong Sarandjana tentu dengan info masyarakat daerah tersebut, karena
tidak ada kosa kata yang mendekati bahasa Jerman. Memperkirakan dasar
nama orang Nansarunai atau Kerajaan Nan Sarunai.
Kajian: Saranjaya/
Tandjong Sarandjana suku kata Saran tidak jauh dengan Saruna dari kata
Sarunai. Suku kata Jaya mungkin sama maknanya seperti saat ini jaya
bermakna menang/lebih baik/maju seperti harapan dalam lagu Tinga
janyawai memperbaiki kualitas kehidupannya.
Info Saat Ini
Dikutip dari kanal YouTube @YouTube @Zona Project Channel nama sebenarnya adalah Pua Bela.
Pua Bela mengaku awal dirinya bisa keluar masuk kota Saranjaya, lantaran sering dibawa sang paman.
"Setelah
meninggal baru saya dikasih itu anunya (wasiat),"ujar dikutip Jurnal
Palopo dari YouTube @YouTube @Zona Project Channel. Dia mengaku sudah
lama bersama dengan penghuni Kota Saranjana. Lewat penuturan Pua Bela
diketahui, jika penduduk Saranjana miliki agama.
"Ada yang
islam ada yang tidak, suku disana banyak. Campuran Jawa, Mandar, Bugis
pokoknya banyak,"terang Pua Bela. Umumnya bekerja di laut (sebaga
nelayan?)
Kajian: ada catatan historis
sejarah Kotabaru berdasarkan catatan sejarawan Goh Yoon Fong yang
menyatakan Pulau Laut (sekitar wilayah perkiraan kota Saranjaya) menjadi
hadiah atau tanah apanage. Hadiah ini diberikan oleh Kesultanan Banjar
kepada Pangeran Purabaya sebagai penghormatan dan imbalan perdamaian.
Pangeran Purbaya dari Mataram atau jawa. Sehingga kemungkinan penduduk
kota Saranjaya juga berasal dari pengikut Pangeran Purbaya. Jika Pua
Bela menuturkan masyarakat Kota Saranjaya campuran Jawa, Mandar dan
Bugis.
Konsep kebebasan dari siklus reinkarnasi
Istilah
moksa sering disebut dalam kepercayaan Hindu dan Buddha. Konsep ini
secara sederhana memiliki artian melepaskan diri dari segala ikatan
duniawi, serta perputaran reinkarnasi kehidupan
Historis
Kotabaru sebagai imbalan perdamaian. Pangeran Purbaya dari Mataram atau
jawa. Meskipun kerajaan Islam. Kesultanan Mataram merupakan simbol
berdirinya kekuatan sosial-politik Islam di Jawa yang menjadi titik
peralihan sekaligus masa transisi dari masa Hindu-Buddha ke masa Kajawen
(Ka-jawi-an). Mataram diakui mampu menyiarkan Islam secara kultural
yang ditandai dengan perubahan besar pada masa Sultan Agung dalam
mengadaptasikan agama dengan budaya lokal.
Kajian: Informasi
Pua Bela penduduk Saranjana miliki agama. Ada yang beragama Islam
maupun bukan beragama Islam. Mendekati dengan gambaran kesultanan
Mataram yang turut andil dalam wilayah tersebut terkait agama. Kerajaan
Islam namun ada masa kultural Hindu-Buddha. Dari kultural Hindu-Buddha
diperkirakan konsep moksa berperan sehingga Kota Saranjaya menjadi gaib
seperti gambaran informasi saat ini.
Time Dimension Toll Gate
Map
of the Dutch Age entitled "Kaart van de Kust-en Binnenlanden van
Banjermassing behoorende tot de Reize in het zuidelijke gedeelte van
Borneo" by German naturalist Salomon Muller in 1845. Muller was a member
of the des Genootschaps en Natuurkundige Komissie in Nederlands Indie
or Forestry Service Dutch East Indies. Writes an area called Tandjong
Sarandjana, administratively at the present time the area is in the
Kotabaru Regency, South Kalimantan, Indonesia.
Community trust
The
belief of the local community, the area or the magical city can only be
visited by smart people who understand wisdom or the occult. Because
looking for it on a modern map of Indonesia, the city does not exist.
Although there are many writings that describe the city, even though it
is not listed on modern maps. The city, called Saranjaya City, is
believed to be located in the southern part of the island, precisely in
Oka-Oka Village, Pulau Laut District, Kotabaru, South Kalimantan.
History of Kotabaru
In
the period before the entry of Islam, the Dayak tribes who inhabited
Kotabaru still adhered to animist beliefs, they lived in groups. It is
estimated that the existence of Saranjana City in the territory of the
Samihim Dayak tribe, before 1660. Based on the records of historian Goh
Yoon Fong who stated that Laut Island was a gift or land of apanage.
This gift was given by the Sultanate of Banjar to Prince Purabaya as a
tribute and reward for peace. Previously, Banjar nobles had appointed
Raden Bagus the Sultan of Banjar who ruled from 1660 to 1663.
In terms of terminology, if the Indian vocabulary, namely Saranjana, means land that is given.
Cultural Notes
Oral sources through the songs of the Maanyan people that their kingdom is Nan Sarunai
The
Maanyan people were expelled and fled to a number of places in
Kalimantan, including the Samihim Dayak who lived in several places
including Pulau Laut or the area where the city of Saranjaya was thought
to be located.
Historically, there are songs from the Maanyan
Dayak community that are believed to have a connection with an event
experienced by the Maanyan Dayak tribe in ancient times. The song tinga
janyawai is in touch with folklore, namely the separation of the
Nansarunai people on the banks of the Tabalong river. Laisomena's song
is a song that contains songs telling the sadness of being left by her
grandson named Laisomena. Maybe it was his promise to go abroad so that
his grandmother didn't know where he was going.
The seventh
stanza of the song Tinga janyawai with a Hermeneutic Approach contains
expressions regarding the participation of the entire community in
improving the quality of their lives. However, everything is left to
each individual, although if there are still shortcomings it is not the
will of his heart. Because we've tried.
This cultural record
provides a hypothesis. Generally, people used to name something,
descendants (children) or areas would be based on history and would have
similar naming. If a German naturalist lists the Tandjong Sarandjana
area, of course with information from the people of the area, because
there is no vocabulary that comes close to German. Estimating the basis
of the name of the Nansarunai or Nan Sarunai Kingdom.
Study:
Saranjaya/ Tandjong Sarandjana The syllable Saran is close to Saruna
from the word Sarunai. The syllable Jaya may have the same meaning as
today, jaya, which means to win/better/advance, as the hope in the song
Tinga janyawai improves the quality of life.
Current Information
Quoted from the YouTube channel @YouTube @Zona Project Channel, her real name is Pua Bela.
Pua Bela admitted that he was able to go in and out of Saranjaya at first, because his uncle often brought him.
"After
I died, I was given the anu (will)," said the Palopo Journal from
YouTube @YouTube @Zona Project Channel. He admitted that he had been
with the residents of Saranjana City for a long time. Through Pua Bela's
narrative, it is known that the residents of Saranjana have a religion.
"Some
are Muslim, some are not, there are many tribes. There are a lot of
Javanese, Mandar, Bugis mixtures," explained Pua Bela. Generally work at
sea (as a fisherman?)
Study: there is a
historical record of Kotabaru history based on the historian Goh Yoon
Fong's record which states Pulau Laut (around the approximate area of
Saranjaya city) as a gift or land of apanage. This gift was given by the
Sultanate of Banjar to Prince Purabaya as a tribute and reward for
peace. Prince Purbaya from Mataram or Java. So it is possible that the
residents of Saranjaya also came from the followers of Prince Purbaya.
If Pua Bela said that the people of Saranjaya City were a mixture of
Javanese, Mandar and Bugis.
The concept of freedom from the cycle of reincarnation
The
term moksha is often used in Hindu and Buddhist beliefs. This concept
simply means breaking away from all worldly ties, as well as the cycle
of reincarnation of life
Historically Kotabaru
in exchange for peace. Prince Purbaya from Mataram or Java. Even though
the Islamic empire The Sultanate of Mataram is a symbol of the
establishment of the socio-political power of Islam in Java which is a
point of transition as well as a transitional period from the
Hindu-Buddhist period to the Kajawen (Ka-jawi's) period. Mataram is
recognized as capable of broadcasting Islam culturally which was marked
by major changes during the time of Sultan Agung in adapting religion to
local culture.
Study: Information on
Pua Bela, the residents of Saranjana, have a religion. There are Muslims
and non-Muslims. Approaching the description of the Mataram sultanate
who took part in the region related to religion. The Islamic kingdom but
there was a Hindu-Buddhist cultural period. From the Hindu-Buddhist
culture, it is estimated that the concept of moksha plays a role so that
the city of Saranjaya becomes magical like the current information
picture.
SUMATERA
Suku Koto Di Tanah Minang, Sumatera Barat
Oleh: Aditya Janta Anugrah
jamberita.com.
Suku Koto merupakan satu dari empat suku yang terdapat dalam dua klan
induk dalam etnis Minangkabau. Etnis Minangkabau memiliki dua klan
(suku dalam bahasa orang Minang) yaitu klan atau suku Koto Piliang dan
klan atau suku Bodi Chaniago.
Asal Usul Suku Koto
Sastrawan
sekaligus penulis A.A. Navis dalam bukunya berjudul Alam Terkembang
Jadi Guru, menyatakan bahwa nama suku Koto berasal dari kata 'koto' yang
berasal dari bahasa Sanskerta 'kotta' yang artinya benteng, di mana
dahulu benteng ini terbuat dari bambu.
Di
dalam benteng ini terdapat pula pemukiman beberapa warga yang kemudian
menjadi sebuah 'koto' yang juga berarti kota, dalam bahasa Batak disebut
'huta' yang artinya kampung.
Dahulu
Suku Koto merupakan satu kesatuan dengan Suku Piliang, tetapi karena
perkembangan populasinya ,maka paduan suku ini dimekarkan menjadi dua
suku yaitu suku Koto dan suku Piliang.
Suku
Koto dipimpin oleh Datuk Ketumanggungan yang memiliki aliran
Aristokratis Militeris, di mana falsafah suku Koto Piliang ini adalah
"Manitiak dari Ateh, Tabasuik dari bawah, batanggo naiak bajanjang
turun" Datuk Ketumanggungan gadang dek digadangan "Besar karena
diagungkan oleh orang banyak). Sedangkan Datuk Perpatih Nan Sebatang
"tagak samo tinggi, duduak samo randah" Suku Koto
Suku Koto emiliki sejumlah gelar kebangsawanannya, di antaranya :
Datuk
Tumangguang, gelar ini diberikan kepada Ir. Tifatul Sembiring oleh
warga suku Koto Kanagarian Guguak-Tabek Sarojo, Bukittinggi
Datuk
Bandaro Kali, gelar ini pernah akan dinobatkan kepada Mentri Pariwisata
Malaysia, Dr. Rais Yatim yang berdarah Minang, tetapi dia menolaknya
lantaran akan sulit baginya untuk terlibat dalam kegiatan suku Koto
nagari Sipisang setelah dia dinobatkan.
Datuk Sangguno Dirajo
Datuk
Panji Alam Khalifatullah, gelar ini dinobatkan kepada Taufik Ismail
karena dia seorang tokoh berdarah Minangkabau suku Koto yang telah
mempunyai prestasi di bidang seni dan kebudayaan.
Datuk Patih Karsani
Datuk Rangkayo Basa, gelar datuk suku Koto di kenagarian Pakandangan, VI Lingkung, Padang Pariaman
Datuk
Palindangan Nan Sabatang gelar yang diberikan kepada tokoh masyarakat
bungo yang bernama farid anthonya yang sekarang ini bertugas di sahabat
ukm cabang muara bungo
Suku
Koto dalam perkembangannya mengalami pemekaran dalam banyak suku, di
antaranya: Tanjung Koto, Koto Piliang di nagari Kacang, Solok, Koto
Dalimo, Koto Diateh, Koto Kaciak,Koto Kaciak 4 Paruik Solok Selatan,
Koto Tigo Ibu di Solok Selatan, Koto Kampuang,Koto Kerambil,Koto
Sipanjang,Koto Sungai Guruah di Nagari Pandai Sikek (Agam),Koto Gantiang
di Nagari Pandai Sikek (Agam),Koto Tibalai di Nagari Pandai Sikek
(Agam), Koto Limo Paruik di Nagari Pandai Sikek (Agam), Koto Rumah
Tinggi di nagari Kamang Hilir (Agam), Koto Rumah Gadang, di nagari
Kamang Hilir (Agam),Koto Sariak, di nagari Kamang Hilir (Agam),Koto
Kepoh, di nagari Kamang Hilir (Agam),Koto Tibarau, di nagari Kamang
Hilir (Agam), Koto Tan Kamang/Koto nan Batigo di nagari Kamang Hilir
(Agam),Koto Tuo di Kenegerian Paranap, Inderagiri Hulu,Koto Baru di
Kenegerian Paranap, Inderagiri Hulu,Koto Musajik di Kenegerian Sungai
Pua
Dahulu
suku Koto merupakan satu kesatuan dengan Suku Piliang, tetapi karena
perkembangan populasinya maka paduan suku ini dimekarkan menjadi dua
suku yaitu suku Koto dan suku Piliang. Suku Koto dipimpin oleh Datuk
Ketumanggungan yang memiliki aliran Aristokratis Militeris, di mana
falsafah suku Koto Piliang ini adalah "Manitiak dari Ateh (menetes dari
atas), Tabasuik dari bawah (muncul dari bawah), batanggo naiak bajanjang
turun, merupakan filosofi bagaiman suku Koto mencoba menyelesaikan
masalah. Datuk Ketumanggungan gadang dek digadangan(Besar karena
diagungkan oleh orang banyak).
Menariknya,
beberapa tokoh besar di Indonesia juga banyak yang bersuku Koto,
Pengusaha Basrizal Koto, Mantan Mentri Tifatul Sembiring, Penyair Taufiq
Ismail, Wartawan Hardimen Koto bahkan Jendral Boy Rafli Amar juga
bersuku Koto. Apakah tokoh-tokoh besar di atas juga mengalami cerita
bahwasanya buaya tidak memangsa orang suku Koto?
Cerita
keistimewaan ini, pasti pernah mampir ke telinga anak minang yang
bersuku Koto, biasanya sebagai dongeng pengantar tidur sewaktu kecil
atau remaja. Di minang sendiri, suku diwariskan dari ibu bukan dari
bapak, atau lebih terkenal dengan istilah matrilineal.
Anehnya,
dua orang konco palangkin (teman akrab) saya yang juga sama-sama
bersuku Koto, Hendro koto (32) dan Handri (32), mereka juga pernah
mendapat cerita buaya dan suku Koto ini dari orangtuanya, artinya, tidak
mungkin para orangtua berbohong tentang keistimewaan suku ini.
Di
Minangkabau, berbicara sejarah, seni, budaya dan cerita rakyat, memang
kental dan erat kaitanya dengan ajaran agama Islam. Adat basandi sarak
sarak basandi kitabullah (ABSSBK), secara ringkas semua-semua maslah
dirunut kepada kitabullah atau kitab suci Al-Quran. ABSSBK merupakan
falsafah hidup orang Minangkabau
Jika
dikaitkan cerita ini dengan budaya orang minang yang memang dekat
dengan ajaran agama, jelas tersirat pesan moril untuk supaya hidup
sesuai tuntunan agama. Jika manusia ciptaan Tuhan yang paling sempurna,
hidup sesuai ajaran dan perintah, maka makhluk lain akan semakin tunduk
dan hormat. Tidak terkecuali pada binatang, pasti binatang akan tunduk
juga sesuai kodratnya. Poin pentingnya, buaya pasti tidak akan memangsa
manusia yang hidup sesuai tuntunan agama.
Belum
ada literatur atau ulasan resmi tentang cerita suku Koto dan buaya.
Namun, jika memang memiliki makna secara tersirat dan tersurat.